YOGYAKARTA — Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara merek dan paten, dua bentuk perlindungan hukum penting dalam bidang kekayaan intelektual. Fenomena ini kerap menimbulkan kesalahpahaman, terutama di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun penemu muda yang sedang mengembangkan inovasi.
Melihat kondisi tersebut, Kantor Wilayah Kementerian Hukum DIY kembali menegaskan pentingnya literasi hukum di bidang kekayaan intelektual. Melalui berbagai kegiatan sosialisasi, layanan konsultasi, hingga klinik kekayaan intelektual yang rutin digelar, Kanwil terus berupaya meningkatkan pemahaman publik mengenai jenis dan manfaat perlindungan KI.
Kepala Kanwil Kemenkum DIY, Agung Rektono Seto menjelaskan bahwa masyarakat sering kali menganggap merek dan paten sebagai hal yang sama, padahal keduanya memiliki substansi hukum dan tujuan yang berbeda.
“Masih banyak yang datang ke layanan kami ingin mendaftarkan merek, tapi ketika ditanya, yang dimaksud ternyata adalah penemuan teknologi atau alat tertentu. Padahal, itu seharusnya masuk kategori paten, bukan merek,” ujar Agung.
Lebih lanjut, Agung menjelaskan bahwa merek berfungsi sebagai identitas dagang tanda yang membedakan barang atau jasa satu pihak dengan pihak lainnya. Merek bisa berupa nama, logo, gambar, huruf, angka, atau kombinasi dari unsur tersebut, dan menjadi simbol kepercayaan konsumen terhadap produk.
Sementara itu, paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil penemuan baru di bidang teknologi, baik berupa produk maupun proses. Paten memberikan hak monopoli bagi pemegangnya untuk melaksanakan atau melarang pihak lain menggunakan invensi tersebut tanpa izin.
“Kalau merek tujuannya menjaga reputasi dan identitas usaha, paten lebih kepada melindungi hasil karya intelektual yang bersifat inovatif dan memiliki nilai teknis,” jelasnya.
Dalam praktiknya, perbedaan ini seringkali memengaruhi langkah hukum yang diambil pelaku usaha. Misalnya, pelaku UMKM yang menciptakan resep baru sering kali mengira dapat mematenkannya, padahal yang bisa dilindungi justru adalah merek dagang dari produknya, bukan resep itu sendiri.
Agung juga menekankan bahwa kesadaran akan pentingnya perlindungan kekayaan intelektual harus menjadi bagian dari budaya hukum masyarakat. Dengan pendaftaran yang tepat, para pelaku usaha maupun penemu dapat memperoleh perlindungan hukum yang kuat, sekaligus meningkatkan nilai ekonomis atas karya mereka.
“Pemerintah melalui Kemenkumham terus mendorong masyarakat untuk ‘paham dulu sebelum daftar’. Jangan sampai salah kaprah antara merek, paten, atau hak cipta. Setiap jenis perlindungan punya karakteristik, masa berlaku, dan dasar hukum yang berbeda,” pungkas Agung.


