
YOGYAKARTA – Kantor Wilayah Kementerian Hukum DIY terus menguatkan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya perlindungan hak cipta. Upaya ini dinilai tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya pelaku seni, penulis, pengusaha kreatif, hingga pelaku industri digital di Yogyakarta.
Kepala Kanwil Kemenkum DIY, Agung Rektono Seto menegaskan bahwa masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya perlindungan hak cipta dan masa berlakunya. Padahal, hak cipta menjadi fondasi bagi ekosistem kreatif agar berjalan adil, sehat, dan berkelanjutan.
“Perlindungan Hak Cipta berlaku seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Ini berarti, karya tidak hanya melindungi hak penciptanya semasa hidup, tetapi juga tetap bernilai hingga beberapa generasi setelahnya,” kata Agung.
Agung menjelaskan secara rinci masa perlindungan sesuai dengan jenis karya. Program komputer, misalnya, dilindungi selama 50 tahun sejak dipublikasikan. Hak pelaku pertunjukan seperti penyanyi, aktor, atau pemain musik berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali ditampilkan. Produser rekaman juga mendapat jaminan perlindungan 50 tahun sejak karya difiksasikan, sedangkan lembaga penyiaran memperoleh perlindungan selama 20 tahun sejak pertama kali siaran dilakukan.
Lebih jauh, Agung menekankan bahwa perlindungan hak cipta memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Dengan hak eksklusif, pencipta bisa mendapatkan royalti, lisensi, serta penghasilan berkelanjutan.
“Bayangkan jika karya tidak didaftarkan. Bisa saja diklaim orang lain atau digunakan tanpa izin. Karena itu, penting sekali mendaftarkan hak cipta untuk melindungi karya secara hukum sekaligus membuka peluang ekonomi,” imbuhnya.
Kanwil Kemenkum DIY juga mempermudah masyarakat dengan menyediakan layanan digital melalui aplikasi e-HakCipta. Prosesnya cepat, transparan, biaya terjangkau, dan sertifikat dapat diterbitkan dalam waktu singkat.
Dari sudut pandang masyarakat, sosialisasi ini membawa manfaat nyata. Banyak pelaku seni dan pelaku UMKM menilai informasi mengenai masa perlindungan hak cipta masih jarang diketahui. Bagi musisi independen di Yogyakarta, perlindungan ini berarti karya mereka tidak lagi sekadar produk hiburan, tetapi juga aset ekonomi yang bisa diwariskan.
“Sebagai musisi, kami sering khawatir karya diunggah ulang tanpa izin. Dengan adanya penjelasan ini, kami jadi paham bahwa mendaftarkan hak cipta bukan sekadar formalitas, tetapi investasi jangka panjang,” ungkap Ahmad Fashih seorang musisi lokal yang hadir dalam sosialisasi.


