YOGYAKARTA – Kantor Wilayah Kementerian Hukum DIY terus menunjukkan komitmennya dalam memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat terkait persoalan royalti musik. Melalui pendekatan persuasif dan kolaboratif, Kanwil Kemenkumham DIY aktif menggelar berbagai kegiatan sosialisasi yang melibatkan para praktisi, pelaku usaha, dan masyarakat umum, demi menciptakan pemahaman bersama yang konstruktif terhadap hak cipta dan kewajiban royalti.
Kepala Kanwil Kemenkum DIY, Agung Rektono Seto menegaskan pentingnya membangun dialog terbuka dan inklusif dalam isu royalti, terutama karena melibatkan banyak kepentingan. Sosialisasi regulasi dinilai perlu dilakukan secara menyeluruh agar masyarakat tidak hanya memahami kewajiban hukum, tetapi juga menangkap semangat penghargaan terhadap karya cipta.
“Dialog yang melibatkan para praktisi, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci penting dalam menyosialisasikan persoalan royalti. Ini bukan sekadar soal aturan semata, tetapi soal keadilan, apresiasi, dan keberlanjutan industri kreatif kita. Maka pendekatan yang bijak dan solutif harus kita kedepankan,” ungkap Agung.
Agung menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah secara tegas mengatur kewajiban pembayaran royalti bagi penggunaan karya musik secara komersial di ruang publik. Namun demikian, di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi, perhatian juga perlu diarahkan kepada pelaku UMKM yang tengah berjuang mempertahankan kelangsungan usahanya.
“Di satu sisi, kita harus melindungi hak-hak ekonomi para musisi sebagai pencipta karya. Royalti adalah bentuk apresiasi atas hasil kerja kreatif mereka. Tapi di sisi lain, jangan sampai penerapan aturan ini justru membebani pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi kita. Maka kebijaksanaan harus kita cari bersama. Solusi yang adil bagi semua pihak adalah tujuan kita,” tegasnya.
Menurutnya, royalti bukanlah pungutan oleh negara, melainkan hak murni milik pencipta yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Oleh karena itu, pemahaman ini harus disampaikan secara berkelanjutan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di lapangan. Dalam beberapa sesi dialog yang digelar, Kanwil Kemenkum DIY juga menggandeng praktisi hukum, perwakilan LMK, serta pelaku industri musik untuk memberi penjelasan langsung kepada pelaku usaha dan publik.
“Royalti tidak masuk ke kas negara, ini penting dipahami. Ini adalah hak musisi yang harus dihormati. Dengan memahami hal ini, kita harap pelaku usaha juga bisa lebih terbuka, dan pada saat yang sama, para pemilik hak cipta juga bisa lebih bijak dalam menentukan skema tarif dan penerapan aturan,” lanjut Agung.
Kanwil Kemenkum DIY berkomitmen menjadikan edukasi dan dialog sebagai jembatan pemersatu antara pelaku usaha dan pencipta karya. Selain memperkuat pemahaman hukum, pendekatan ini juga diharapkan mampu menciptakan harmoni dalam pelaksanaan perlindungan kekayaan intelektual di masyarakat.
Upaya ini menjadi bagian dari agenda besar pemerintah dalam menciptakan ekosistem kekayaan intelektual yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Dengan menghargai karya orang lain, masyarakat secara tidak langsung ikut mendorong tumbuhnya industri kreatif nasional, yang kini menjadi salah satu sektor unggulan perekonomian Indonesia.
“Kami percaya, dengan pendekatan dialogis dan edukatif, semua pihak bisa memahami posisi dan haknya masing-masing. Sosialisasi akan terus kami lakukan, dan kami terbuka untuk semua bentuk diskusi yang membangun,” tutup Agung.